Rabu, 24 April 2013

Einstein


“Faktor internal yang harus dikaji adalah...”

Terdengar nyaring suara mikrofon dari teman-temanku yang sibuk dengan presentasinya di depan kelas.

Baris belakang. Tempat dudukku.
Ditengah kesibukan kegiatan belajar,
Aku justru lebih tertarik untuk menggoreskan tinta hitam di kertas ini.

Dari belakang sini semuanya terlihat lebih jelas.
Dan seluas penglihatanku hanya beberapa orang saja yang berkonsentrasi pada mata kuliah ini.
Mungkin dia salah satunya.

Entahlah, aku sudah terlalu lelah.
Kebisingan kelas terlalu menggangguku.

Einstein...
Itu bukan namanya,
Hanya panggilan khusus yang kubuatkan untuknya,
Karena menurutku dia terlalu pintar.

Mengapa dia bisa terlihat sangat tenang di antara kebisingan ini?
Ya, dia yang duduk di kursi paling depan.

Ketika ku alihkan pandanganku ke arahnya, rasanya masih selalu sama.
Seakan hanya ada dia yang terlihat di antara keramaian ruang ini.

Aku tau,
Belajar adalah salah satu prioritas utamanya.
Memang dia jauh lebih pintar dariku.
Karena itu alasan ku mengaguminya.


Hai Einstein...!
Ingin rasanya aku duduk di sampingmu,
lalu diam-diam memperhatikan raut wajahmu yang serius memperhatikan pelajaran.

Aku selalu ingin memperhatikan gerak-gerikmu dari belakang sini.
Caramu menulis...
Caramu membetulkan posisi kacamata...
Caramu bertanya hal yang kamu tidak mengerti.

Apa kamu memperhatikanku dari depan sana?
Ah, kurasa tidak.

Ku tutup mata, lalu menggeleng kuat-kuat.
Mencoba tersadar dari lamunan yang menyergap.

Bodoh! Siapa aku?!?
Apa iya seseorang seperti dia menginginkan wanita seperti aku?

Jam kuliah saja aku malah menulis dan sibuk dengan duniaku sendiri.

Lagi-lagi aku terlalu banyak berharap.
Mungkin ini yang dinamakan kebutuhan ego.

Tak terasa jam kuliah telah usai.
Para penghuni ruangan sementara itu mulai meninggalkan kursi mereka.

Aku masih terpaku di kursi belakang.
Ku baringkan kepalaku di atas meja.
Malas.

Hingga ruang kelas terdengar sunyi.
Aku memang lebih suka sendiri.
Andai Einstein mengajakku pulang bersamanya, pikirku konyol.

“Belum pulang?”

Aku terkejut mendengar suara itu.

“Loe lagi sakit ya?”

Dengan kepala masih tertunduk di atas meja, aku masih menerka-nerka suara lembut itu.

Aku mengenali suara ini.
Ku angkat kepalaku perlahan,
Mencoba melihat sang pemilik suara.

EINSTEIN!

“Kok loe belum pulang?” tanyanya lagi.
“G-g-gue...” Aku gugup.
“Mau bareng? Ini udah malam, nggak baik cewek pulang sendiri.”

Aku tak menyangka.
Khayalan bodohku ternyata tak sebodoh yang aku kira.
Seseorang yang selalu kuperhatikan dari belakang,
kini ada di hadapanku.

Akupun menuruti ajakannya.
Kali ini aku merasa sangat beruntung.

Atas alasan apapun dia mengantarku pulang, aku tak peduli.
Yang aku tau,
Aku merasakan bahagia.


Untukmu yang berpura-pura tak mengerti
 By me <3 :')



Tidak ada komentar: