Minggu, 12 April 2015

Einstein (Part 3)

“Kayak biasa ya, Mas.”
“Siap Neng.”

Kedai mie ayam sederhana ini memang sudah tidak asing lagi untukku. Aku dan dia bisa dibilang sudah beberapa kali mengandalkan tempat ini untuk sekedar mengganjal perut. Pesanan kami pun selalu sama. Jadi aku tak perlu repot lagi berlama-lama memilih menu, karena aku yakin penjualnya pun sudah hafal.

Siapa yang pertama kali mengajakku ke sini?
Siapa lagi kalo bukan pria pintar berkacamata yang sedang duduk di hadapanku sekarang.
Ya,  Einstein...

Sembari menunggu pesanan, aku perhatikan dia sangat sibuk dengan gadgetnya. Sesekali dia terlihat tersenyum kecil. Aku tahu, dia pasti sedang berbalas pesan dengan gadis itu.
Gadis yang aku tau beberapa bulan terakhir ini sedang dekat dengannya.
Gadis yang perlahan tapi pasti mulai berhasil menggeser posisi pentingku di hidupnya.
Gadis...
yang jauh lebih sempurna dibandingkan aku.

Aku pun hanya mampu menarik nafas sedalam mungkin lalu menghembuskannya. Hal itu biasa aku lakukan agar perasaanku jauh lebih tenang.

“Permisi, ini pesanannya ya. Mie ayam bakso dan mie ayam pangsit. Minumannya es jeruk sama es teh manis,” ujar sang penjual sambil menghidangkan pesanan kami satu per satu.
“Terima kasih Mas,” ucapku.

Ini adalah waktu yang paling aku suka. Melihatnya makan dengan lahap di depanku.
Membantu dia meracik mie ayam dengan kecap dan sambal hingga sesuai dengan selera lidahnya.
Terkadang dia berusaha menahan tanganku agar tidak menambahkan kecap terlalu banyak ke mangkoknya. Tapi semakin dia menahan, aku malah semakin memaksa. Hahaha sungguh aku hanya rindu bercanda dengannya. Suasana di kedai kali ini tidak begitu ramai. Dari sekitar 10 meja, terlihat hanya 3 meja saja yang terisi. Membuat suara candaan kami berdua cukup menguasai ruangan.

Sesekali dia menyeruput es jeruknya. Mungkin untuk menetralkan rasa pedas akibat beberapa sendok sambal yang ia tambahkan ke dalam mie ayam tadi. Peluhpun mulai terlihat menghiasi wajah teduh itu, membuatku tersenyum lalu tertawa kecil.
“Kenapa?” tanyanya bingung.

Aku mengambilkan beberapa lembar tissue untuknya, “Kebiasaan deh. Nih, bersihin muka lu. Keringetan banget.”
Dia menuruti perintahku.
Tak butuh waktu lama untuknya menghabiskan semangkok mie ayam. Aku tahu setelah ini dia pasti meledek cara makanku yang terlalu lama.

“Buruan makannya, lama banget. Gue aja udah abis,” ledeknya.
“Nggak usah bawel... Gue tau lu mau minta kan?” jawabku yang sudah sangat paham maksud candaannya itu.

Dengan sigap dia menarik mangkokku hingga ke tengah meja. Tanpa rasa berdosa dia mulai menyantap mie ayam milikku.

“Daripada kelamaan, mending gue bantuin yaaaa,” katanya sambil mengunyah mie ayam yang ada di mulutnya. Dia masih terlihat sangat lahap. Aku terheran-heran dibuatnya.

“Ih, emang dasar lu ya, perut karuuung!” ujarku gemas lalu memukul pelan kepalanya dengan sumpit.
Dia tertawa.

Tuhan...
Kali ini aku terlalu lemah
Jangan biarkan aku jatuh cinta berkali-kali karena melihat pria ini tertawa
Ku mohon, ku mohon...

Melihat jatah mie ayamku tak luput dari incarannya, aku hanya bisa pasrah.

“Kok lu berhenti?” tanyanya.

Aku menggelengkan kepalaku.
Bagaimana bisa aku makan sementara ada seorang laki-laki yang sangat aku gilai berada tepat di depanku saat ini?
Aku lebih memilih untuk menikmati setiap lekuk wajahnya dibandingkan menyia-nyiakan waktu hanya untuk sekedar makan.

“Yah gara-gara gue ya?”
Aku tidak menjawab.

Iyaaa, iyaaa...
Semua ini gara-gara lu!

“Ya udah nih gue suapin ya.”
Aku terkejut mendengarnya.
Benar saja, dia menyodorkan sesendok mie ayam tersebut. Dengan rasa tidak percaya, perlahan aku membuka mulutku dan menyambut suapan mie ayam darinya.

“Enak kaaaan??” godanya lagi.
Dan untuk kesekian kalinya dia berhasil membuatku tersenyum.
Rasa mie ayam ini memang bukan yang paling enak, tapi bagiku menjadi yang paling enak sedunia saat itu.

Tidak terasa semangkok mie ayam pesananku telah habis. Setelah membayar semua bill pesanan, kami berniat pulang.

Dia menghidupkan motornya dan memintaku untuk segera naik.
Aku mengiyakan.

“Udah siap?” tanya dia ketika aku sudah berada di atas motor.
“Bentar, bentar...” Aku membetulkan posisi helmku.
“Udah beloooom???” tanyanya lagi.
 “Udah!” jawabku mantap.
“Ya udah, turun!”

Sontak aku langsung memukul pundaknya dengan kesal. Dia selalu melakukan hal yang sama setiap akan mengantarku pulang. Jahatnya, dia justru tertawa puas ketika berhasil membuatku kesal.

Perlahan motornyapun melaju menuju rumahku.
Semilir angin malam kubiarkan menerpa wajahku dengan leluasa. Dingin.
Dari balik punggungnya, aku masih saja tidak berhenti memperhatikan sosok ‘Einstein’ku ini.
Tanpa sadar, kedua tanganku melingkar dipinggangnya. Ya, aku memeluknya.
Berada sedekat ini membuatku mampu merasakan hembusan nafasnya dan mencium wangi tubuhnya.
Kurasakan seketika jantungku berdegup lebih kencang. Aku tak peduli jika dia mengelak dan memintaku untuk menyingkirkan kedua tangan yang lancang ini.
Aku hanya tak memiliki kalimat yang pantas aku sampaikan  untuk menjelaskan bahwa aku takut kehilangannya.
Tepat.
Aku terlalu takut kehilangan dia.

Tiba-tiba aku mendengar dia terbatuk.
“Kenapa?” tanyaku panik.
“Sorry, lu pegangan kenceng banget. Gue sampe nggak bisa napas,” jawabnya.

Aku diam dan langsung melepaskan pelukanku.

"Maaf," tukasku singkat.

Kali ini aku tidak bisa tertawa.
Aku belum siap tertawa dengan lelucon yang disuguhkan oleh takdir.

Memang... terkadang kita jatuh cinta terhadap orang yang salah di waktu yang tepat.
Atau bahkan jatuh cinta kepada orang yang tepat di waktu yang salah.
Dan aku... terjebak di antara keduanya.

Ini kebodohanku…
Seberapapun kuatnya keinginanku untuk memiliki hatinya,
aku melupakan satu hal yang seharusnya aku ingat.
Dia sudah milik seseorang.



Dariku,
Gadis yang tidak tau diri :’)


(Lihat cerita sebelumnya Einstein (part 2))

2 komentar:

MY MIND mengatakan...

Einstein sopo put? hahaa

Arifianty Putri mengatakan...

He is someone that I want hihi :p